Guru Memerlukan Kebijakan yang Mampu Meningkatkan Profesionalitas

Guru Memerlukan Kebijakan yang Mampu Meningkatkan Profesionalitas

Rekanan seprofesi yang terhormat, Menjelang peringatan Hari Guru, 25 November 2015, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) kembali mengingatkan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada guru, yakni kebijakan yang mampu meningkatkan profesionalitas, kesejahteraan, dan perlindungan terhadap guru. Kebijakan pemerintah era Presiden Joko Widodo terkait guru sejauh ini baru menyentuh permukaan, belum sampai masalah substantif.

Hal ini dikemukakan Ketua Pengurus Besar PGRI Sulistiyo, Selasa (17/11), di Jakarta. Sulistiyo didampingi Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan PGRI Mohammad Abduhzen. "Guru menanti kebijakan yang bukan basa-basi seolah-olah sayang dan peduli kepada guru, padahal kebijakan substansi yang ditetapkan sesungguhnya menyulitkan, meresahkan, dan bahkan menganiaya guru," ujarnya.

Kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan guru, Sulistiyo mencontohkan, misalnya pengangkatan guru untuk mengatasi kekurangan guru, khususnya guru di jenjang SD. Masalah kekurangan guru terjadi di hampir semua kabupaten atau kota. Namun, sejauh ini, pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan terkait pengangkatan guru. Banyak guru yang mengajar di dua kelas atau dibantu guru honorer yang status dan kesejahteraannya belum baik.

"Dengan adanya guru honorer, seolah-olah jumlah guru cukup, bahkan dikatakan berlebih. Padahal, pemerintah kan punya kewajiban memenuhi kebutuhan guru baik kualitas maupun kuantitasnya," kata Sulistiyo.

Guru honorer

Agar guru honorer bisa bekerja dengan baik, dibutuhkan kebijakan penyelesaian guru honorer. Untuk honorer kategori 1 dan 2, sesuai janji dan kesepakatan antara DPR dan pemerintah, hendaknya diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil. Bagi yang belum diangkat, karena mereka bertugas penuh, sama dengan guru PNS, mestinya ditetapkan dan diberi penghasilan minimal seperti yang diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 14 Ayat (1) Huruf a dan Pasal 15 Ayat (2).

Sulistiyo menjelaskan, istilah guru honorer tidak ada di UU Guru dan Dosen ataupun Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Pemerintah seharusnya tidak memakai istilah honorer untuk guru. Yang ada dalam PP No 74 hanya guru tetap, yaitu guru yang diangkat oleh pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggara pendidikan, atau satuan pendidikan untuk jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun secara terus-menerus, dan tercatat pada satuan administrasi pangkal pada satuan pendidikan yang memiliki izin pendirian dari pemerintah atau pemerintah daerah dan melaksanakan tugas pokok sebagai guru. Guru tetap seperti ini berhak memperoleh tunjangan profesi guru (PP No 74 Pasal 15 Ayat (2) Huruf d.

"Guru honorer yang sesungguhnya adalah guru tetap mestinya dapat ikut sertifikasi sehingga berkesempatan memperoleh TPG (tunjangan profesi guru). Sayangnya, kebijakan saat ini justru guru honorer tidak boleh ikut sertifikasi dan tidak berhak dapat TPG. Ini kebijakan menyesatkan," kata Sulistiyo.

Terkait dengan peningkatan kompetensi guru, Mohammad Abduhzen menuturkan, seharusnya akhir tahun 2015 seluruh guru sudah harus berkualifikasi S-1 atau D-4 dan bersertifikat pendidik dengan dibiayai oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Hal ini sesuai UU Guru dan Dosen Pasal 82 Ayat (2) dan Pasal 13 Ayat (1). Namun, yang terjadi sekarang, baru sekitar 50 persen guru bersertifikat pendidik dan 40 persen guru yang berkualifikasi S-1 atau D-4.

"Pemerintah justru membuat kebijakan guru yang belum sertifikasi harus membayar sendiri dan yang belum berkualifikasi S-1 atau D-4 akan diberi sanksi," ujarnya.

Pembinaan

Pemerintah diharapkan agar melaksanakan pembinaan karier dan profesionalitas dengan benar. Sayangnya, kata Sulistiyo, pemerintah justru menguji guru terus dengan uji kompetensi guru (UKG). Padahal, menurut dia, UKG tidak akan mampu menggambarkan kompetensi guru yang sesungguhnya. Kalaupun diikuti dengan penilaian kinerja guru, apakah pemerintah mampu menjamin bahwa penilaian kinerja itu dilakukan dengan benar dan mampu disatukan dengan nilai UKG dengan tepat.

"Berdasarkan pengalaman, apakah Kemdikbud dapat menindaklanjuti hasil UKG dengan baik mengingat berbagai pengalaman nilai-nilai seperti ujian nasional, UKG hanya dimanfaatkan untuk bahan ceramah yang banyak mendiskreditkan guru," kata Sulistiyo.

Terkait dengan penyelenggaraan Hari Guru, sesuai Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 tentang Penetapan Hari Guru Nasional tanggal 25 November 1994, PGRI selalu merayakan bersama dengan pemerintah sejak 1994. Peringatan puncak Hari Guru Nasional sekaligus Hari Ulang Tahun PGRI biasanya dihadiri Presiden atau Wakil Presiden, para menteri, dan pejabat negara lain.

Peringatan diselenggarakan di seluruh Indonesia yang dilakukan bersama antara pemerintah daerah, kementerian terkait, dan PGRI. "Kali ini agak berbeda. Puncak peringatan di pusat hanya diadakan PGRI pada 13 Desember," kata Sulistiyo.
Baca juga : PB PGRI Guru di Bawah Kemendikbud Dipaksa tes UKG, yang Lainnya kok Tidak
Demikian informasi ini, semoga bermanfaat dan menjadi bahan perenungan bagi kita. (Sumber : kompas)

0 Response to "Guru Memerlukan Kebijakan yang Mampu Meningkatkan Profesionalitas"

Posting Komentar